Menyoal Kekerasan kepada Pak Guru Budi

Share:

Dunia pendidikan tanah air tengah dirundung duka setelah peristiwa pemukulan yang berujung kematian kepada Budi Cahyono, seorang guru tidak tetap di SMAN 1 Torjun, Sampang. Ini menjadi bukti betapa banyak hal yang harus dievaluasi, mulai dari bagaimana peran keluarga, guru, pelajar itu sendiri, serta sistem pendidikan yang ada agar kejadian serupa tidak terulang.

Sebelumnya, kejadian yang mirip terjadi pada tahun 2016. Pak Dahrul sebagai guru arsitektur SMKN 2 Makassar mendapat pukulan hingga berdarah oleh seorang wali murid. Ceritanya, sang siswa MAS (16) tidak mengerjakan PR dan melawan saat sang guru menasehatinya. Siswa tersebut tidak terima karena sang guru memukul pundaknya lalu melapor kepada orang tuanya hingga kemudian peristiwa tersebut terjadi. Cerita tersebut berakhir damai secara kekeluargaan setelah pak Dasril melalui kuasa hukumnya menghentikan proses peradilan yang sedang berlangsung.

Terhadap dua kasus ini, kita patut bersedih, marah, dan mengutuk keras siapapun yang tidak menghormati para pendidik yang sudah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mencerdaskan anak-anak di negeri ini. Namun melakukan hal itu saja tidak cukup. Memproses secara hukum sang pelajar pelaku penganiayaan adalah satu langkah pengobatan atas apa yang telah terjadi. Di luar sana, masih banyak potensi kekerasan terhadap guru atau sebaliknya yang memerlukan langkah pencegahan sedini mungkin.

Mengapa Peristiwa ini Terjadi?

Kita pun patut bertanya-tanya, kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Untuk menjawab hal ini, kita tidak boleh mengenyampingkan peran orang tua, guru, komunitas tempat anak menghabiskan waktunya, serta bagaimana sistem pendidikan diterapkan. Para guru dan kepala sekolah di SMAN 1 Torjun sepakat bahwa MH, sang pelaku penganiayaan terhadap Budi Cahyono, adalah anak yang bandel dan kerap kali berurusan dengan BK. Label ini muncul tentu saja diakibatkan oleh kebiasaan sang anak, namun kebiasaan tersebut tak lantas muncul dengan sendirinya.

Ditinjau dari segi psikologis, tentu yang dilakukan oleh MH tak hanya didasari atas ketidak sukaannya kepada pak Budi saat itu. Tapi hal itu merupakan akumulasi dari sifat buruk selama ini yang diluapkan pada satu waktu tersebut. Seorang pakar psikologi, Mira Amir, juga menanggapi peristiwa ini dengan menyatakan ada masalah perilaku dan pengendalian diri dimana hal tersebut terbentuk melalui lingkungan keluarga sejak kecil.

"Kita harus melihat riwayatnya, apalagi siswa itu sudah diberi label bandel. Artinya memang ada masalah pengendalian diri atau ambang toleransi stresnya pendek," ujarnya kepada CNN Indonesia

Jika kita meninjau secara literatur, kenakalan anak tidak muncul serta-merta tanpa penyebab. Menurut studi dari Kalor Kumpfer dan Pose Alvarado, Profesor & Asisten Profesor di University of Utah, kenakalan dan kekerasan yang dilakukan anak dan remaja disebabkan oleh masalah-masalah sosial yang saling berkaitan. Diantaranya adalah kekerasan pada anak tersebut, pengabaian oleh orang tua terhadap anak, munculnya perilaku seksual negatif sejak dini, kekerasan di rumah tangga yang disaksikan atau dirasakan sang anak, keikutsertaan pada komunitas yang menyimpang, tingkat pendidikan anak yang rendah, serta sekolah yang abai terhadap masalah anak.

Berdasarkan apa yang disampaikan pakar psikolog dan studi Prof. Kalor Kumpfer dan asistennya tersebut, kita bisa menerka bahwa sifat yang ada pada MH dan ribuan anak yang mendapat label 'nakal' lainnya disebabkan oleh salah satu atau beberapa alasan yang dikemukakan dalam studi tersebut.

Nyatanya, pendidikan keluarga adalah yang paling berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam suasana yang harmonis akan memiliki sifat ceria dan keterbukaan untuk belajar. Kemudian ini akan diteruskan saat anak belajar di sekolah. Dengan suasana keluarga yang harmonis, anak juga akan semakin mudah menerima pelajaran di sekolah. Sebaliknya, jika dalam keluarga sering terjadi kekerasan sehingga muncul ketidak harmonisan, maka anak akan mencari 'jati dirinya' dengan cara bergabung dengan komunitas yang memhuatnya nyaman. Celakanya, kebanyakan anak lebih memilih komunitas yang memberikan ruang bagi perilaku negatif berkembang sebagai bentuk pelampiasan atas apa yang dialami. Hal yang sama berlaku meskipun orang tua 'hanya' abai terhadap kondisi anak meskipun kekerasan tidak terjadi sama sekali.

Dengan adanya pendidikan keluarga yang buruk, wajar saja bila sekolah tidak mampu mengatasi kesulitan belajar anak, memperbaiki kondisi psikologis anak pun sulit.

Bagaimana dengan Sistem Pendidikan?

Kita juga patut mengevaluasi sistem pendidikan yang diterapkan saat ini. Apakah itu berhubungan? Menurut saya sangat berhubungan. Sang Menteri Pendidikan & Kebudayaan pun mengakui bahwa beban administrasi guru yang berat serta tuntutan belajar kepada siswa yang tinggi telah membuat misi meningkatkan kualitas pendidikan menjadi bias. Kegiatan belajar-mengajar pun sekadar menjadi formalitas tanpa motivasi.

Sejak dahulu, kurikulum yang diterapkan selalu dikritik oleh karena terlalu menitik beratan pada aspek kognitif. Kemudian kurikulum 2013 hadir memberi tawaran inovasi, namun justru tuntutan belajar jauh lebih berat dari sebelumnya, meskipun tujuannya sangat bagus. Dampaknya, motivasi belajar rendah dan siswa lebih memilih untuk 'mencari kesenangan' di luar kewajiban belajar baik secara individu maupun dalam kelompok sebagai bentuk pemberontakannya.

Di satu sisi, minat siswa terhadap suatu kompetensi mendapat pengayoman sejak awal. Namun di sisi lain siswa dituntut untuk menguasai banyak hal yang sebenarnya tidak berdampak signifikan pada minat siswa tersebut. Pendidikan yang inovatif seharusnya bisa bisa mengetahui minat siswa sejak awal dan terus mengasahnya sehingga siswa memiliki rencana jangka pendek dan jangka panjang yang pasti dan realistis.

Bukan Sekadar Wacana

Inti dari apa yang saya paparkan sejak awal pembahasan tulisan ini adalah, marilah kita mulai menerapkan langkah pencegahan terhadap kekerasan di sekolah. Kekerasan tersebut baik yang dilakukan siswa kepada guru, guru kepada siswa, maupun sesama siswa. Ini harus menjadi prioritas mengingat data yang dipublikasikan oleh LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) pada 2015 menyebutkan bahwa kekerasan di sekolah Indonesia termasuk yang paling tinggi dengan persentase 84%. Kekerasan paling sering terjadi antar siswa.

Langkah pertama untuk mewujudkannya adalah dengan pendidikan keluarga yang baik. Kemudian kedua diperlukan sinergitas antara keluarga dengan sekolah melalui komunikasi yang intensif dan terbuka. Ketiga, sekolah perlu bertindak antisipatif dengan menganalisis sedari dini penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh siswa. Dan terakhir, kita sangat berharap kebijakan dan kebijaksanaan dari pemerintah untuk melakukan reformasi pendidikan yang notabenenya merupakan sarana untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Semoga pak Budi husnul khotimah. Salam hormat saya untuk seluruh guru di tanah air dan dibelahan dunia mana pun. Salam kasih saya untuk pelajar di tanah air dan dimanapun berada. [ ]


Ditulis oleh Aan Rijalul Fikri
(Jurnalis Pendidikan)


Bagi anda akademisi, pendidik, pelajar, pecinta dunia pendidikan, dan pengamat dunia pendidikan dimanapun berada, redaksi Opinia ID mengajak anda berbagi curah gagasan dan pandangan melalui tulisan. Kirimkan dalam bentuk word (.doc) ke alamat surel saintisme.id@gmail.com dengan subyek 'Opini'.

Post a Comment

Tidak ada komentar